2014. Tahun yang penuh cerita buatku. Ada cerita sedih. Ada juga cerita bahagia. 1 Juli 2014. Untuk pertama kalinya aku berkenalan dengan lelaki yang tak ku kira akan menjadi pasangan hidupku 5 bulan lagi.
Saat itu aku sama sekali tak tertarik padanya. Ya. Saat itu aku baru saja putus dari kekasihku yang sebelumnya. Setelah beberapa konflik eksternal yang terjadi karena orang tuaku tak menyetujui hubungan itu, dia pun akhirnya memutuskan untuk meninggalkanku. Tentu saja hatiku terasa hancur hingga membuatku benar-benar terpuruk pada waktu itu. 2 hari setelah putus, seorang lelaki menyapaku via BBM®. Dia adalah lelaki yang selama ini ingin dikenalkan padaku oleh papa dan pakde-ku sejak aku masih memiliki kekasih. Saat itu aku hanya menanggapi pesannya dengan sopan. Aku tak mau terkesan kasar atau tidak sopan meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya berpikir kenapa baru sekarang dia berani menyapaku via BBM®, padahal aku sudah berteman dengannya di fitur tersebut sejak 2 bulan sebelumnya. Mungkinkah ini sebuah konspirasi besar-besaran antara papaku, pakdeku dan dirinya, mengingat malam sebelumnya pakdeku datang ke rumah hanya untuk mencari tahu apakah benar saat itu aku sudah sendiri lagi.
Aku masih ingat topik pembicaraan kami saat itu. Pagi itu, aku baru saja memulai aktivitas baru di tempat praktekku yang baru. Dia menanyakan seputar aktivitas baruku itu. Percakapan yang menurutku begitu kaku. Mungkin karena ia sendiri bingung harus bagaimana (menurut ceritanya ketika aku bertanya tentang masa-masa perkenalan kami dulu) dan perasaanku masih belum teralih dari mantanku itu.
Sejak saat itu komunikasi kami tak pernah putus. Entah itu BBM® atau telepon di sela-sela kesibukanku praktek dan aktivitasnya yang saat itu sedang sering dinas keluar kota. Topik pembicaraan kami pun beragam. Dari mulai kegiatan kami sehari-hari, pertandingan World Cup, pandangan kami tentang sebuah hubungan, visi dan misi hidup kami ke depannya hingga kasus hukum yang sedang ia tangani terutama bila berhubungan dengan dunia medis. Kebetulan saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan dan pertandingan World Cup. Perasaanku saat itu campur aduk. Ada kalanya aku terkesan dengan pemikirannya yang menurutku cukup dewasa, tapi sisi lain hatiku seolah menolak kehadirannya dan masih berharap pada masa laluku. Semakin dekat Idul Fitri perasaanku semakin tak karuan. Karena aku tahu suatu hari nanti kami pasti akan bertemu langsung. Saat itu ingin rasanya aku menghindar. Menghilang dari rumah agar ia tak bisa menemuiku. Bertolak belakang sekali dengan saat ini. Selama hampir 1 bulan aku berkomunikasi dengannya, aku juga masih menjalin komunikasi dengan mantan kekasihku. Namun semakin hari aku semakin merasa justru dia yang semakin mendekat padaku, sedangkan komunikasiku dengan mantanku kebanyakan ada karena aku yang memulainya. Berbeda dengannya yang meskipun aku tidak memulainya, dia selalu memulai percakapan lebih dulu. Hingga komunikasi kami benar-benar tidak terputus.
26 Juli 2014. Hari itu dia mengajakku untuk bertemu langsung. Benar seperti dugaanku. Dia mengajakku untuk buka puasa bersama. Saat itu aku benar-benar tak ingin pergi berdua dengannya. Karena itu aku pun mengajak Abang dan adikku untuk menemaniku ke tempat yang sudah kami berdua sepakati. Akhirnya bertemulah kami berempat di sebuah restauran. Kesan yang aku tangkap di awal pertemuan kami adalah dia masih tidak bisa menutupi rasa groginya saat itu dan aku masih tak bisa menyembunyikan rasa tidak sukaku padanya. Setelah makan bersama, Abang mengajaknya untuk ikut ke tempat kakak keduaku bekerja. Mampus, pikirku saat itu. Dan suka tidak suka aku berada satu mobil dengannya atas saran Abang. Selama perjalanan dia berusaha mengajakku mengobrol dan bercanda. Tapi aku masih saja menanggapinya dengan dingin. Aku hanya menatap ke arah jendela samping atau menatap lurus ke depan. Tak pernah menoleh ke arahnya sedikitpun.
Setelah petemuan itu, kami hanya kontak via BBM® hingga akhirnya 5 hari kemudian dia datang ke rumahku untuk pertama kalinya. Dia berhasil mendapatkan respon yang baik dari kedua orang tuaku. Dan aku tak begitu menyukai situasi ini. Ya hatiku masih bertahan pada masa laluku. Selama masa liburan itu kami menghabiskannya dengan beberapa kali pergi bersama entah untuk makan ataupun hanya mengobrol berdua. Saling bercerita tentang apa yang sudah kami rasakan tentang cinta-cinta yang pernah kami alami sebelumnya. Dan aku mulai merasa kagum padanya. Aku benar-benar tak habis pikir kenapa perempuan-perempuan itu bisa menyia-nyiakan lelaki sebaik dia. Rasanya aku tak ingin menyakitinya, menjadikannya pelarian meskipun aku pernah berucap bahwa aku tak akan memakai hatiku lagi dalam berhubungan dengan siapapun. Tapi rasanya itu tak adil baginya. Dia terlalu baik. Aku tahu maksud dan tujuannya mendekatiku adalah untuk bisa lebih dari seorang teman biasa. Dia pun akhirnya mengungkapkan perasaannya padaku. Dan dia tahu hatiku saat itu bukan untuknya. Tapi dia tak pernah pergi. Dia selalu ada di dekatku. Menjadi sahabatku, tempatku berbagi gundah yang sedang kualami sebulan terakhir. Dan dari obrolan-obrolan itulah aku akhirnya mengetahui bahwa dia sama sekali tidak tahu tentang aku yang baru saja putus dari kekasihku yang dulu. Yang dia tahu, seminggu sebelum kami kontak, dia diyakinkan bahwa aku masih sendiri. Padahal kenyataanya, aku baru putus 2 hari sebelum kami kontak. Dia yang membuatku berani untuk jatuh cinta lagi. Perasaan yang tidak kusadari timbul di dalam hatiku. Dia bahkan mengutarakan keinginannya untuk bertemu dengan mantan kekasihku agar tak ada salah paham tentang kedekatan kami berdua. Bahwa dia sama sekali tak tahu sebelumnya tentang hubunganku tersebut. Dia pun tak pernah memberi batas waktu kapan aku harus memberikan jawaban atas pertanyaannya. Dia hanya ingin agar aku tidak terpengaruh siapapun dalam mengambil keputusan. Satu hal yang membuatku kagum padanya, kedewasaannya.
Perhatiannya tak berkurang sedikitpun meskipun dia tahu aku tidak bisa menjanjikan apa-apa untuknya. Dia tetap menjadi dirinya yang penuh humor, perhatian, membuatku banyak tertawa setelah sebelumnya aku merasa seolah hidupku hancur begitu saja. Seiring berjalannya waktu aku mulai merasakan kenyamanan saat berada di dekatnya. Namun aku masih saja belum bisa memberikan kepastian untuknya. Tanpa terasa liburku akan segera berakhir. Aku harus memulai kembali aktivitasku di hari Senin. Dia kemudian menawarkan diri untuk mengantarku praktek. Awalnya aku menolak, entahlah mungkin karena aku tak ingin memberi banyak harapan untuknya. Tapi pada akhirnya aku setuju untuk diantar olehnya. Praktek pagiku mulai jam 6, otomatis dia harus sudah menjemputku paling lambat jam 05.45. Dan dia datang sebelum waktunya. Pagi-pagi mengantarku, menjemputku, mengantarku ke rumah, mengantarku ke tempat praktekku yang lainnya. Dia melakukan semua itu dan dia tampak menikmatinya. Dia juga menawarkan diri untuk menemaniku di acara pernikahan sahabatku tanggal 10 Agustus 2014. Saat itu hatiku terasa perih, kenapa justru dia yang menawarkan diri untuk menemaniku, sedangkan lelaki yang katanya menyayangiku setahun belakangan justru tampak tidak bersemangat saat aku menanyakan apakah ia mau menemaniku di acara tersebut. Kemudian aku hanya menjawab terserah padanya. Dia bilang, kalau dia berhasil mendapat tiket kereta untuk pulang, maka dia akan pulang untuk menemaniku.
Keesokan harinya dia mengabariku kalau dia berhasil mendapatkan tiket tersebut. Aku hanya berpikir baiklah, aku akan melihat siapa yang akan menemaniku di acara tersebut, karena kebetulan sahabatku juga mengundang mantanku untuk hadir, dan aku sendiri yang telah menyerahan undangan tersebut saat lebaran kemarin. Kalau keduanya hadir, maka aku bisa lebih melihat mana yang lebih tulus dan benar-benar menyayangiku. Sorenya dia harus pulang kembali ke Jakarta karena masa cutinya sudah habis. Entah kenapa rasanya berat melepasnya. Tapi aku masih berusaha menepis rasa itu dan berpikir bahwa aku tidak mungkin jatuh cinta padanya.
8 Agustus 2014. Aku menjemputnya di stasiun. Ada rasa berdebar di hatiku. Semakin mendekati jadwal kedatangannya, rasanya semakin tak karuan. Begitu melihat sosoknya di antara orang-orang, aku tak tahu harus bersikap apa. Aku hanya diam untuk menutupi rasa grogiku. Untung saja saat itu aku ditemani Abang. Keesokan harinya, dia kembali mengantarku praktek. Kali ini aku tak lagi duduk diam dan menatap ke jendela samping atau lurus ke depan. Suasananya sudah lebih mencair. Namun aku masih bingung dengan perasaanku sendiri. Aku hanya tak ingin menjadikannya pelarianku. Aku tak ingin menyakitinya seperti apa yang pernah dia alami sebelumnya. Aku tak ingin menjadi perempuan seperti itu.
Hari pernikahan sahabatku akhirnya tiba. Dia datang ke rumahku sekitar jam 5 pagi, karena aku sudah harus ada di gedung jam 05.30 untuk make-up. Dia menemaniku seharian. Melihatnya bisa berbaur dengan sahabat-sahabatku memberikan nilai plus untuknya. Sore harinya, dia mengajakku ke rumahnya untuk berkenalan dengan keluarganya. Sambutan keluarganya terasa hangat. Membuatku merasa diterima dan nyaman. Kemudian aku mengantarnya ke stasiun. Saat itu rasanya berat melepasnya pergi lagi. Aku sudah mulai terbiasa menjalani rutinitas bersamanya. Malam hari setelah dia berangkat, aku mulai berpikir, apa yang sebenarnya kurasakan saat ini. Tapi aku masih belum bisa mengakui bahwa aku telah jatuh cinta padanya.
Keesokan harinya, 11 Agustus 2014, aku mengobrol dengan mama sepulang praktek pagi. Mama mengingatkanku untuk tidak menunda terlalu lama dalam mengambil keputusan, karena kalau memang aku benar-benar menyukainya, aku bisa saja kehilangannya jika aku tak segera mengambil keputusan. Tiba-tiba saja terbersit dalam pikiranku bahwa aku tak ingin kehilangan dirinya. Ya. Akhirnya aku mengakui bahwa aku telah jatuh cinta padanya. Aku lalu mulai berpikir bagaimana caranya aku memberitahukan perasaanku ini padanya. Tiba-tiba saja ada BBM® masuk darinya. Aku mulai memancingnya untuk mengungkapkan kembali perasaannya terhadapku. Dan begitu dia mengungkapkan perasaannya langsung saja kubalas bahwa aku pun juga merasakan hal yang sama. Akhirnya sejak saat itu kami resmi berpacaran.
Hubungan ini bukanlah hubungan pacaran layaknya ABG-ABG jaman sekarang. Hubungan kami merupakan suatu proses menuju komitmen serius yang telah kami bicarakan sejak awal, yaitu pernikahan. Namun kami masih menunggu kakak keduaku menikah bulan Mei 2015, sehingga kami membiarkan hubungan ini mengalir dengan sendirinya.
Menjalani hari-hari bersamanya membuat hidupku lebih berwarna. Setahun sudah kami bersama, perhatian dan sikapnya tak pernah berubah. Selalu saja ada cara yang dia lakukan untuk membuatku tersenyum. Setiap hubungan pasti memiliki masalahnya sendiri. Beberapa kali kami bertengkar kecil, namun kedewasaannya lah yang membuat hubungan ini terus bertahan. Saat emosiku tak stabil, dia begitu memahaminya. Kesabarannya menghadapiku yang terkadang egois, kekanakan, membuatku semakin hari semakin menyayanginya. Aku tahu, lelaki inilah yang aku inginkan dan aku butuhkan dalam hidupku. Semua yang selama ini kucari ada pada dirinya. Bersamanya aku merasa bahwa diriku berharga. Dia memperlakukanku dengan sangat baik. Hampir setiap minggu dia pulang ke cirebon. Tanpa lelah dia menemaniku ke manapun aku pergi. Dia begitu memanjakanku. Dia pun selalu mendukung segala kegiatan positif yang aku lakukan.
Beberapa kali kami menghabiskan waktu di luar kota. Entah karena ada seminar yang aku ikuti, acara pernikahan sahabatku, atau acara keluarga besarnya, bahkan menemani adikku liburan. Dia selalu menjagaku. Perhatiannya bukan hanya kepadaku saja, tapi juga kepada seluruh keluargaku. Dan itu tidak dibuat-buat. Benar-benar terasa tulus. Keluarganya pun begitu perhatian padaku. Membuatku benar-benar nyaman menjalani hubungan ini. Sebuah hubungan yang selama ini aku impikan. Seorang sahabatku pernah berkata, melihat sikapnya padaku, seolah-olah dia yang membayar seluruh rasa sakit yang dulu aku alami dengan kebahagiaan. Rasanya aku benar-benar tak bisa hidup tanpanya. Aku bahkan selalu manja setiap kali dia pulang. Tapi dia justru tak pernah bosan memanjakanku. Kali ini aku tak mau yang lain lagi. Aku hanya ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya. Dan aku hanya berharap dia benar-benar menjadi yang terakhir dalam hidupku.